skip to main |
skip to sidebar
-
TUGAS ILMU SOSIAL DASAR
MANUSIA DAN POTENSINYA
Manusia diciptakan dengan segenap potensi. Sebuah perangkat yang berisi kesanggupan untuk mempertahankan hidup, kecakapan untuk memperoleh penghidupan dalam kehidupan bersama, berinteraksi dengan alam, mengetahui tempat kembalinya, dan untuk mengenal penciptanya. Instrumen inilah yang kemudian disebut sebagai panca indera dan akal.
Di balik kesanggupan perangkat pikir, terdapat tabir pengertian tentang hal yang terjadi di luar dirinya. Kesadaran ini hanya dimiliki oleh hewan dan manusia melalui perantara panca inderanya yang telah dianugerahkan oleh Allah. Namun, hanya manusialah yang dapat memahami ini melalui pemikiran sambil mengembangkannya dalam hubungan sebab akibat. Maha Suci Allah, hal inilah yang merupakan sumber dari segala kesempurnaan dan puncak segala kemuliaan manusia dan ketinggian di atas mahluk lain.
Tindakan-tindakan yang dilakukan manusia bersifat teratur dan tertib. Ini karena pikiran mengetahui adanya tatanan. Berpikir dari satu prinsip ke prinsip lain hingga sampai pada tahap akhir. Misalnya, seseorang berpikir mengenai atap yang akan dijadikan tempat untuk bernaung. Otaknya bekerja, berpindah dari pemikiran atap ke dinding sebagai penyanggah, kemudian ke pondasi yang menjadi dasar dinding itu. Usai ia bepikir mulailah ia bekerja dimulai dari pondasi, kemudian dinding dan diakhiri dengan pemasangan atap. Disinilah pekerjaan berakhir. Atap sebagai awal pemikiran merupakan akhir dari pekerjaan. Inilah arti dari kalimat permulaan pekerjaan merupakan akhir dari pemikiran, dan permulaan pikiran merupakan akhir dari pekerjaan. Oleh karena keteraturan tindakan melalui persepsinya dalam tatanan yang mengikat inilah, dunia mahluk hidup lain berada di bawah manusia. Benda-benda itu dengan terpaksa atau sukarela dimanfaatkan manusia.
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya), (Qs. An Nahl, 16:12)
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (Qs. Al A'raf:10)
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. (14:32)
Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya. (Qs. 15:20)
Jelaslah, tak ada keraguan. Langit, bumi, dan segala yang ada di dalam dan di antaranya diciptakan dalam misi penyuksesan manusia sebagai penguasaan bumi. Sebagai realisasi fungsi kekhalifahan dan pembangunan peradaban.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(QS. 2:30)
Aktifitas berpikir merupakan sumber ilmu pengetahuan. Penganut aliran matrealisme membatasinya pada hal-hal yang sifatnya rasionable, yang hanya dapat dipahami dengan akal saja. Sedangkan muslim, ia meletakan wahyu Ilahi sebagai sumber ilmu pengetahuan teratas. Keilmiahan suatu ilmu dalam perspektif Islam menggusur sikap taqlid sebagai sikap hidup yang akan berimbas pada pertanggungjawaban di padang pengadilan kelak.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Qs. 17:36)
Namun, bukan berarti maksimalisasi fungsi inderawi tidak dilakukan. Bahkan muslim diperintahkan untuk menggunakannya dalam rangka membangun ketaatan pada sabda-sabda langit. Bila tidak demikian? Ketinggian derajatnya dihempaskan oleh Allah pada tempat yang serendah-rendahnya; menggantikan kedudukan hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Qs. 7:179)
Muslim yang berilmu—mereka yang melakukan aktifitas pikirnya—disebut sebagai ulama. Dalam definisi Qur'ani, ulama adalah orang-orang yang memiliki perasaan takut, sebagai manifestasi ketundukannya pada Penguasanya.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Qs. 35:28)
Ia membebasakan kuasa akal dan inderanya demi ketakutannya(imannya) pada Allah SWT. Ia paham betul betapa akal dan indera memiliki keterbatasan. Indera penglihatannya dapat tertipu oleh fatamorgana dan terbatas dengan jarak jangkauannya, begitu pula indera pendengarannya, dan indera pengucapnya. Semua itu tidak dapat menjangkau dimensi, misteri kegaiban semesta kecuali Allah saja yang menguasainya.
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (Qs. 6:59)
Hanya ilmu yang bersumber pada wahyu Ilahi saja sumber keselamatan, pranata-pranata mendasar dalam pembangunan peradaban yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu.
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Qs. 65:12)
Sikap inilah yang menepis pemahaman keliru dunia matrealisme mengenai keilmiahan suatu ilmu. Hakikatnya bukan sekadar pembuktian secara empirik, namun harus diteruskan sampai taraf kesesuaian dengan wahyu Ilahi—bilamana ia tak berkesesuaian, di dalamnya terdapat campur tangan nafsu dan kepentingan yang amat rendah, saksikanlah kehancuran langit dan bumi yang memperlihatkan tanda-tandanya dari hari ke hari.
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit). dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami). (Qs. 23:71)
Seorang "milyader" pada masa nabi Musa as. memandang limpahan harta dunia yang berada dalam genggamannya sebagai sebuah hasil dari ketinggian ilmunya. Karun sebagai tokoh matrealisme membuat bangsanya berharap dan berangan diberikan kesenangan yang demikian pula. Kebodohan yang demikian itu laksana virus mematikan. Manusia terbius oleh nafsunya sendiri, mengejar "keberuntungan" yang nisbi, berkeinginan dilimpahkan ilmu yang luas agar mendapat perbendaharaan yang melimpah. Allah membinasakan Karun. Lenyaplah ia bersama harta dan pemujanya ke dalam perut bumi.
Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.(78) Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".(79) Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar".(80) Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).(81) (Qs. 28:78-81).
Lantas, ia kah orang yang berilmu sebenarnya? Orang yang beriman dan beramal shalehlah yang layak menyandang predikat tersebut.
0 komentar: